Mengenal Mahatma Gandhi: Pengacara dari Rajkot

Mohandas Karamchand Gandhi dilahirkan pada tanggal 2 Oktober 1869 di Porbandar, Gujarat. Ayahnya, Kaba Gandhi adalah seorang diwan di Pengadilan Rajasthanik, sedangkan ibunya, Putlibai seorang ibu rumah tangga biasa. Keluarga Gandhi tergolong kasta Bania dan menganut agama Hindu dari sekte Vaishnav. 

Mengenal  Mahatma Gandhi: Pengacara dari Rajkot

Gandhi menempuh pendidikan dasar dan menengah di kota Rajkot, karena ia harus mengikuti ayahnya yang pindah ke kota ini. Pada saat ia menempuh pendidikan menengah atau berusia kurang lebih tiga belas tahun ia telah dinikahkan dengan Kasturbai. Perkawinan Gandhi adalah hal yang biasa karena pada masa ini perkawinan di bawah umur merupakan tradisi. Keluarga baru ini nantinya dikaruniai tiga putra (Gandhi 1985: 23—24).



Biografi Mahatma Gandhi - Pada tahun 1887, Gandhi lulus ujian masuk universitas di Ahmedabad dan kemudian ia memutuskan untuk kuliah di Samaldas College. Namun akhirnya ia keluar karena mendapat kesulitan dalam mengikuti kuliah di universitas tersebut. Selanjutnya, Mavji Dave, seorang Brahmana dan sahabat keluarga menganjurkan Gandhi untuk kuliah hukum di Inggris, mengingat pengacara lulusan Inggris akan mudah mendapat pekerjan di India. Anjuran ini tentu saja tidak serta merta disetujui keluarga 

Gandhi karena selain masalah biaya juga karena Gandhi adalah satu-satunya anggota kasta Bania yang akan ke luar negeri. Tak mengherankan bila sebagian anggota kasta mengucilkannya. Ibunya sendiri akhirnya merestui setelah mendengar janji Gandhi untuk tetap menjadi vegetaris dan setia pada istri (Gandhi 1985: 49—52).

Bagi banyak kalangan, berakhirnya era Perang Dingin pada tahun 1990-an diharapkan mampu menciptakan suasana kondusif bagi perdamaian dunia karena selama ini Perang Dingin sering dituding sebagai penyebab berbagai konflik politik antarbangsa. Namun konflik politik yang seringkali berkembang menjadi peperangan ini, nyatanya belum juga berakhir dari muka bumi kendati perang itu sendiri telah berakhir selama satu dekade.

Invasi AS ke Irak, konflik di Timur Tengah, perang saudara di Sudan merupakan beberapa contoh di mana kekerasan seakan-akan merupakan solusi yang lazim bilamana konflik politik tidak dapat lagi dihentikan melalui langkah-langkah negosiasi dan kompromi. Sehubungan dengan adanya cara-cara kekerasan untuk mengatasi konflik politik internasional maupun nasional tersebut, maka mau tak mau memunculkan masalah etis mengingat para aktor politik selalu menyuarakan nilai-nilai etis seperti kebaikan bersama, keadilan, demokrasi, dan sebagainya. 

Mahatma Gandhi Bapak Anti Kekerasan - Namun demikian, mereka seakan tak peduli dengan cara yang digunakan untuk mencapai nilai-nilai itu, yakni melalui kekerasan. Cara ini tentunya akan mengorbankan jiwa-jiwa yang tak bersalah, sehinga melahirkan satu permasalahan baru yaitu dengan penggunaan cara kekerasan untuk mengejar tujuan yang baik akan mengakibatkan adanya pelanggaran martabat manusia.

Sebagai upaya untuk memahami persoalan etis yang muncul yakni apakah kekerasan merupakan tindakan yang dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan yang baik, maka tulisan ini bertujuan untuk meninjaunya dari cara pandang Mahatma Gandhi mengenai non-violence (tanpa kekerasan) sebagai
prinsip etika politik. Gagasan ini sendiri akan menjadi lebih jelas dalam nasionalisme humanistisnya.

Gagasan nasionalisme humanistis Gandhi merupakan gagasan yang unik mengingat nasionalisme yang yang berkorbar di Asia-Afrika pada awal abad ke-20 selalu diiringi dengan gerakan revolusioner, namun Gandhi justru meyakini bahwa Ahimsa dan atributnya, satyagraha (tekad kebenaran, jalan tanpa kekerasan) sebagai prinsip sekaligus sarana yang paling tepat untuk mencapai kemerdekaan India. Dengan prinsip yang diyakininya inilah maka nasionalisme Gandhi berbeda dengan nasionalisme tokoh-tokoh lain pada zamannya.

Gandhi tiba di Inggris pada tahun 1888. Di negeri ini ia mulai belajar menyesuaikan diri dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan baru, antara lain membaca koran, belajar dansa, bermain biola dan belajar bahasa Perancis. Ia juga menjadi anggota teosofi yang menyebabkannya belajar tentang kitab suci dari banyak agama seperti Injil sekaligus mendalami Bhagavadgita, namun yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Sir Edwin Arnold. Untuk menempuh pendidikan pengacara, Gandhi memilih London Matriculation. Selama studi ia mempelajari hukum Inggris, hukum Romawi dan bahasa Latin, sedang hukum India dan Hindu tidak diajarkan di sini. Ia baru mempelajarinya ketika tiba di India (Gandhi 1985: 60, 76, 87). Gandhi lulus ujian pengacara pada tanggal 10 Juni 1891. Keesokan harinya ia mencatatkan diri ke Pengadilan Tinggi dan pada tanggal 12 Juni 1891 ia pulang ke India.

Setiba di Rajkot, Gandhi menyadari bahwa ternyata tidak mudah menjalankan pekerjaan pengacara ditambah lagi ia tidak menguasai hukum India, Hindu dan Islam. Untuk mendapatkan perkara ia harus pindah ke Bombay dan di kota ini ia gagal menangani sebuah perkara kecil hingga akhirnya kembali lagi ke Rajkot. Perjalanan hidupnya sebagai pengacara di kota ini justru hancur karena Rajkot penuh dengan permainan politik dan ketidakadilan terhadap suku minoritas yang merupakan klien Gandhi. Gandhi bahkan pernah diusir dari rumah seorang Sahib (pejabat) yang tak berkenan dengan upayanya untuk membela kakaknya.

Dalam situasi seperti ini, Gandhi memutuskan untuk menerima tawaran menangani perkara Dada Abdullah & Co di Afrika Selatan. Dengan kesepakatan untuk bekerja selama satu tahun dan dengan bayaran sejumlah ₤150, maka pada tahun 1893 Gandhi berlayar menuju Durban, Natal di Afrika Selatan (Gandhi 1985: 101—103).

Mahatma Gandhi Pembebas Bangsa di Afrika Selatan

Situasi di Afrika Selatan merupakan situasi yang melahirkan Gandhi sebagai pembela kaum yang terpinggirkan, tokoh nasionalis yang humanis sekaligus pemimpin moral bagi bangsanya. Untuk memahami situasi yang memicu ketokohan Gandhi maka di sini dipaparkan tentang situasi Afrika Selatan.

Natal, Transvaal dan Orange Free State merupakan koloni-koloni Imperium Inggris di Afrika Selatan. Pada tahun 1860, Pemerintah Natal dan India menandatangi persetujuan pengiriman buruh-buruh kontrak India untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan tebu di Natal. Sesuai kontrak, buruh bekerja selama tiga tahun dan kemudian dapat diperpanjang selama lima tahun. Setelah itu mereka bebas.

Migrasi buruh-buruh kontrak ini terus berlangsung dan kemudian diikuti oleh kedatangan para pedagang Muslim yang berasal dari pantai barat India. Sebagai catatan, pada tahun 1895 di Natal terdapat orang India sejumlah 46.000 jiwa. Jumlah ini pada tahun 1904 mencapai 100,418 sedang orang Eropa tercatat 97,109 (Singh 1994: 95). Meningkatnya jumlah orang India merupakan ancaman ekonomi bagi warga kulit putih. Untuk menekan orang-orang India ini maka orang kulit putih mulai mendesak Dewan Legislatif Natal agar memberlakukan berbagai undang-undang yang bercorak diskriminatif. Hal serupa juga terjadi di Orange Free State dan Transvaal (Singh 1994:95). Ketiga koloni ini pada akhirnya mengundangkan berbagai undang-undang dan puncaknya adalah undangundang yang menghapus hak-hak politik orang India. 

Dengan demikian, orang India tidak lagi memiliki hak sebagai warga negara di bawah Imperium Inggris dan situasi ini tentu saja mempermudah orang kulit putih untuk membuat undang-undang yang diskriminatif. Situasi sosial yang penuh diskriminasi rasial inilah yang tidak pernah dibayangkan Gandhi. 

Oleh sebab itu, ketika ia tiba di Durban ia merasa terhina karena diharuskan membuka sorban di pengadilan, ia juga ditolak ketika masuk ke dalam gerbong kereta api kelas satu di Charlestown, dilarang duduk bersama orang kulit putih di kereta dan yang menyakitkan ia sering kali dipanggil samy atau coolie (Gandhi 1994:124—125), Setelah perkara Dada Abdullah selesai pada awal tahun 1894, ia bermaksud segera pulang namun tertunda karena pada tahun yang sama Dewan Legislatif Natal mengajukan Rancangan Undang-Undang pencabutan hak-hak orang India untuk memilih anggota dewan. 

Gandhi segera membentuk komite kerja untuk menentang rencana tersebut. Ia juga mendirikan partai Natal Indian Congress dan menggalang kekuatan politik yang mampu mempersatukan orang India dari berbagai agama seperti Hindu, Islam, Parsi dan Kristen, berasal dari wilayah Gujarat, Madras, Tamil, serta tidak memandang pekerjaan baik itu buruh atau pedagang. Melalui gerakan ini, Gandhi telah memberikan penyadaran politik bahwa mereka adalah satu dan menunjukan pentingnya hak-hak politik sehingga harus diperjuangkan. Perjuangan Gandhi berlanjut ketika ia pulang ke India pada akhir tahun 1894. 

Ia menyebarkan “Green Pamphlet” untuk menginformasikan situasi di Afrika Selatan, sekaligus membangun solidaritas untuk nasib sesama anak bangsa. Seruan Gandhi segera disambut oleh rakyat dan tokoh-tokoh politik seperti Tilak dan Gokhale (Krishnaswamy 1994: 197). Pada tahun 1897, Gandhi kembali ke Afrika Selatan dengan disertai istri, anak dan saudaranya. Kehidupan Gandhi di Afrika Selatan pada tahun 1897—1914 sungguh menarik untuk dipelajari. Dalam kehidupan spiritual, Gandhi dapat dikatakan berusaha menuju kesempurnaan. 

Seperti terlihat pada tahun 1906 di mana ia bersumpah menjadi Brahmacharya (hidup selibat) setelah berunding dengan istri. Pengabdian pada masyarakat telah menguatkan niatnya untuk melepaskan diri dari kedekatan hidup berkeluarga dan menerima kemiskinan sebagai teman sepanjang hidup (hidup sebagai Vanaprastha). Usaha selanjutnya adalah menjalani Brata untuk menuju kebebasan sejati. Sumpah Brahmacharya ini yang nantinya merupakan persiapan Satyagraha (Gandhi 1985:192—193).

Menyangkut kehidupan politik khususnya tentang pandangan terhadap Imperium Inggris, setidaknya dalam Perang Boer dan Zulu, Gandhi menunjukkan kewajibannya sebagai warga negara dengan berpartisipasi sebagai anggota Korps Ambulans. Namun di sisi lain kesadaran nasionalnya juga meningkat seperti terwujud dalam gerakan politik dan kesadaran akan identitas bangsanya.

Situasi di Afrika Selatan telah menumbuhkan kesadaran Gandhi untuk mengangkat martabat bangsanya yang mayoritas bekerja sebagai kuli kontrak dan buta huruf. Ia mendidik mereka untuk tidak lagi melihat distingsi antara yang berkasta dan tidak berkasta. Pengalaman di Afrika Selatan telah mendekatkan Gandhi pada kelompok yang terpinggirkan seperti buruh kontrak, pariah atau yang sering disebut the Untouchable. Kelompok ini yang nantinya sangat menderita ketika berbagai undang-undang diskriminatif diberlakukan seperti pajak ₤3 per kepala, The Asiatic Registration Bill di Transvaal dan sebagainya.

Sebagai upaya menentang ketidakadilan dalam undang-undang tersebut, Gandhi membangun gerakan yang dikenal dengan satyagraha, suatu bentuk perlawanan tanpa kekerasan yang dapat berupa pembangkangan sipil (civil disobedience), boikot dan passive resistance. Gerakan satyagraha secara besarbesar terjadi pada tahun 1906 dan 1908. Pada tahun 1908, ribuan orang India melintasi Transvaal tanpa sertifikat dan sebagian berdagang tanpa ijin. 

Mereka dengan sengaja melanggar hukum sebagai pernyataan damai tentang hak-hak mereka yang telah dihapus. Sebagai akibat gerakan itu Gandhi ditahan. Di samping gerakan satyagraha, Gandhi juga meminta Congress di India untuk mengadopsi resolusi tentang Afrika Selatan. Lebih dari sekedar sebuah resolusi, Gokhale sebagai tokoh Congress terkemuka pada tahun 1914 mengirim C.F. Andrew untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah Afrika Selatan. Hasilnya sangat luar biasa, karena dalam perundingan antara Gandhi dan Smuts yang difasilitasi C. F Andrew menghasilkan The Indians’ Relief Act. Di dalam undang-undang ini tertuang pasal-pasal yang mencabut pajak ₤3, pengakuan terhadap perkawinan orang India serta penghapusan buruh kontrak pada tahun 1920 (Ali 1994: 15—16).

Dengan pemberlakuan The Indians’ Relief Act, Gandhi merasa bahwa pekerjaannya tidak lagi di Afrika Selatan tapi di India. Tugas kemudian ia alihkan pada Mansukhlal Nazaar dan Khan. Pada bulan Juli 1914, sebelum kembali ke India, Gandhi mendapat gelar kehormatan Deshabhaktha Mahatma (yang berarti jiwa agung atau orang suci). Di India pun, Indian National Congress memberi penghormatan kepahlawanan bagi Gandhi dan pengikutnya karena telah berkorban dan menderita demi kehormatan India. (Krishnaswamy 1994:207).

Mahatma Gandhi Sebagai Pejuang Kemerdekaan dan Guru Bangsa India

Atas saran Gokhale, Gandhi harus ke Inggris sebelum kembali ke India. Ketika tiba di London, Perang Dunia I telah meletus dan ia segera menghimbau orang India di Inggris untuk menjadi relawan perang. Pernyataan ini tentu saja menuai kritikan walau akhirnya diterima, Gandhi sendiri pada akhirnya tidak berpartisipasi karena sakit. Gandhi tiba di India pada tahun 1915 dan atas saran Gokhale (mentor politik Gandhi), ia berkeliling tanah India untuk mendapatkan pengalaman sebelum terjun dalam politik. Setidaknya Gandhi memerlukan waktu lima tahun untuk memulai satyagraha bagi kemerdekaan India.

Selama lima tahun itu, Gandhi menjelajah dan menemukan kesulitan masyarakat di segala aspek seperti mulai dari masalah transportasi, kebiasaan kotor, kebodohan, kemiskinan, pajak tinggi, kesehatan dan sebagainya. Perjalanan ini juga diwarnai dengan peziarahan ke kuil-kuil suci dan berdialog dengan para mahatma.

Dari catatan sejarah, perjalanan selama lima tahun tersebut sesungguhnya merupakan langkah politik informal karena sebagian kegiatan-kegiatan Gandhi dapat dikategorikan ke dalam kegiatan politik. 

Di Bombay, Karachi, Lahore, dan Calcutta, Gandhi melakukan agitasi untuk mendidik rakyat tentang perlunya penghapusan buruh kontrak. Di Champaran, Bihar, ia melakukan reformasi sosial untuk menghapus sistem Tinkathia (kewajiban petani penggarap untuk menanam nila pada tiga petak dari 20 petak tanah miliknya). Setelah itu, di Kheda ia melakukan reformasi di bidang hukum melalui upayanya menghapus sistem pajak yang mencekik rakyat dan di Ahmedabad ia pernah menjadi mediator konflik perburuhan.

Dalam tiap proses mediasi baik di Bihar, Kheda maupun Ahmedabad, Gandhi mulai mengajarkan dasar satyagraha yaitu ajaran tanpa kekerasan sebagai sarana atau metode untuk mencapai tujuan. Dalam tiap rapat umum, Gandhi juga selalu menekankan pemeliharaan ketenteraman dan rasa hormat terhadap sesama maupun diri sendiri (Gandhi 1985: 362, 364, 379, 382—383,390).

Hal lain yang didapat Gandhi dari perjalanannya adalah pandangan nasionalisme yang semakin mewujud seperti terlihat dengan usahanya untuk mengangkat bahasa Hindi dan Urdu sebagai bahasa lingua franka India. Ia juga menggagas keterkaitan antara kemerdekaan dan pengentasan kemiskinan yang nantinya tampil dalam konsep-konsep swaraj dan ekonomi khadi. Nasionalisme Gandhi juga menyangkut kesatuan bangsa India. 

Dia menentang gagasan Moh. Ali Jinnah bahwa India terdiri dari dua bangsa yaitu bangsa Hindu dan Muslim. Bagi Gandhi, keduanya adalah satu bangsa karena diikat oleh peradaban yang sama. Dengan konsep ini Gandhi tidak pernah menyetujui partisi India – Pakistan. Pada tahun 1919 kepemimpinan Gandhi mulai menonjol yakni dengan kemampuannya menggerakkan rakyat India untuk melakukan Hartal (pembersihan diri dan puasa ) sebagai langkah awal menentang Rencana Undang-Undang Rowlatt, sebuah RUU kewarganegaraan. Hartal merupakan persiapan satyagraha di mana rakyat diajak untuk melakukan perlawanan tanpa kekerasan dalam wujud pembangkangan sipil (Gandhi 1985: 409).

Gerakan satyagraha ini gagal karena kerusuhan meletus di Ahmedabad. Gandhi segera menangguhkannya hingga rakyat menangkap makna damai, suatu makna yang hanya bisa dipahami bila rakyat sudah dapat bertindak menurut Ahimsa Pada tahun 1920, Gandhi terpilih sebagai pucuk pimpinan Congress. Ketokohannya tidak tertandingi oleh tokoh-tokoh lain seperti Bal Gangadhar Tilak, Bipin Chandra Pal dan Moh. Ali Jinnah (pendiri Liga Muslim). Sementara itu tokoh-tokoh seperti Pandit Nehru, Sardar Patel, Maulana Azad, Jayendra Prasad, dan C. Rajagopalachari adalah para tokoh pejuang yang menganut garis pemikiran Gandhi (Guha 1986: 2–4).

Di bawah Gandhi, Congress yang semula dikenal sebagai organisasi politik, atau tepatnya partai politik elitis dan berorientasi pada reformasi konstitusi kini berorientasi pada rakyat. Gandhi segera mereformasi konstitusi dan menjadikannya sebagai sarana efektif untuk memobilisasi rakyat. Satyagraha yang merupakan prinsip perjuangan Gandhi kini ditetapkan sebagai prinsip gerakan Congress untuk mencapai kemerdekaan India.

Pada tahun 1921, gerakan satyagraha dicetuskan untuk menentang reformasi konstitusi di bawah The Montagu-Chelmsford. Dalam gerakan ini, secara hati-hati Gandhi menolak keterlibatan tentara dan polisi untuk menghindari terjadinya kekerasan. Ia dikenal sebagai penentang pengambilalihan kekuasaan dengan cara kekerasan, yang menjadi preferensinya adalah transfer (peralihan kekuasaan) melalui perlawanan yang berbentuk tindakan non-kooperasi. 

Gerakan ini gagal karena Inggris tetap bertahan pada perjanjian The Montagu-Chelmsford, sebagai akibatnya muncul keraguan di dalam Congress terhadap efektivitas satyagraha. Adapun pihak-pihak yang sebelumnya menentang metode perjuangan Gandhi lantas mendirikan partai-partai baru seperti Partai Sosialis dan Partai Swaraj. Gandhi sendiri ditahan pada tahun 1922 hingga tahun 1924, setelah keluar ia lebih berkonsentrasi pada reformasi sosial khususnya pengembangan ekonomi khadi (Power 1961: 22).

Pada tahun 1929, Gandhi kembali terjun ke politik dengan menyerukan kemerdekaan dari Inggris. Pada tahun berikutnya, 1930, ia kembali mengobarkan gerakan satyagraha untuk menentang undang-undang garam yang dimonopoli pemerintah. Gandhi berhasil mengajak rakyat untuk pergi ke laut dan membuat garam sendiri. Apa yang dilakukan rakyat merupakan bentuk pembangkangan sipil yang mampu menekan Inggris untuk berunding dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di London.

Perundingan KMB tersebut menghasilkan Irwin-Gandhi Agreement yang antara lain menyetujui pencabutan undang-undang garam, tapi tetap belum menyetujui kemerdekaan India. Bahkan dalam perundingan ini, Inggris berhasil memasukkan skema partisi India-Pakistan seperti yang dituntut Liga Muslim selain skema tentang kemerdekaan India. Berakhirnya perundingan membuktikan kegagalan satyagraha sebagai metode perjuangan (Power 1961: 22–24 dan Guha 1986: 54). 

Kegagalan gerakan satyagraha untuk kedua kalinya ini semakin mempertajam kritikan terhadap ajaran Gandhi dan meningkatkan militansi dalam Congress. Akhirnya pada tahun 1934 Gandhi menarik gerakan satyagraha dan secara resmi mengundurkan diri sebagai anggota formal Congress. Namun demikian Congress tetap menghormatinya sebagai pemimpin gerakan perjuangan nasional dan pengaruh Gandhi tetap kuat dalam memberi “restu” terhadap pimpinan Congress berikutnya. Ia pun tetap diakui sebagai pemimpin moral dan guru bangsa.

Setelah itu, Gandhi berkonsentrasi pada masalah sosial khususnya kemiskinan. Ia juga menerbitkan surat kabar Harijan (anak Allah), sebutan untuk the Untouchables. Melalui surat kabar ini, ia secara konsisten menyerukan Satyagraha (Guha 1986: 55).

Ketika Perang Dunia II meletus, Subhas Chandra Bose - seorang tokoh revolusioner - menyerukan agar India segera mengambil kesempatan untuk memproklamirkan diri, namun Gandhi sendiri menyerukan Congress untuk mencari langkah-langkah kompromi dengan Inggris. Ia tidak ingin kemerdekaan India diraih dari Inggris yang hancur karena Perang Dunia II karena cara semacam ini bertentangan dengan ajaran tanpa kekerasan.

Menginjak tahun 1942, Perang Dunia II sudah menjalar ke Asia. Menanggapi situasi yang genting ini Gandhi menyerukan Inggris agar segera menarik diri dari India karena India tidak mau bermusuhan dengan negara lain. Ia menyatakan jika Jepang menyerbu India maka akan dihadapi dengan jalan tanpa kekerasan, selain itu kehadiran tentara asing akan mengganggu kemerdekaan India. Isi pernyataan tersebut menunjukkan suatu oposisi terhadap kepentingan Inggris yang dinyatakan dalam sikap non-kooperasi terhadap tentara asing (Inggris) dalam menghadapi Jepang.

Dalam perkembangan berikutnya, sikap Gandhi berubah dan secara mengejutkan pada tanggal 8 Agustus 1942, ia menyerukan Quit India Movement atau sering disebut Revolusi Agustus. Perubahan langkah ini dikritik oleh pengikutnya seperti Nehru dan Patel karena dalam aksi ini Gandhi tidak lagi berbicara tentang satyagraha, prinsip tanpa kekerasan atau sarana damai lainnya (Guha 1986: 86, 99). 

Sebagai akibat dari aksi ini, Gandhi beserta pimpinan Congress ditahan dan baru dibebaskan pada tahun 1944. Penahanan Gandhi dan tokoh-tokoh Congress mengakibatkan tampilnya Subhas Chandra Bose sebagai pemimpin revolusi India. Ia membangun Indian Nasional Army atau Azad Hind Fauj dan menggerakan seluruh kekuatan baik dari Hindu, Islam, tentara, polisi dan seluruh lapisan rakyat. Gandhi sama sekali tidak memberi komentar terkait dengan tindakan revolusioner ini.

Akhirnya, Revolusi India dan berakhirnya Perang Dunia II yang menghancurkan Inggris telah mendorong negara ini untuk membicarakan peralihan kekuasaan sekaligus partisi India – Pakistan. Pada bulan Maret 1946, Cabinet Mission yang dibentuk Inggris merekomendasikan pembentukan Negara Federal India. Selanjutnya pada tahun 1947 Perdana Menteri Clement Athlee secara resmi mengumumkan bahwa Inggris akan menyerahkan kekuasaan selambatnya pada bulan Juni 1948.

Penyerahan kekuasaan dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1947, namun kemerdekaan ini diiringi dengan partisi India-Pakistan. Suatu hal yang disesali Gandhi, yang tidak hadir dalam upacara serah terima karena sedang berada di Calcutta untuk menenangkan massa yang menjadi korban partisi.

Partisi membawa konsekuensi luar biasa karena mendorong migrasi besarbesaran penduduk Muslim di wilayah India ke Pakistan dan penduduk Hindu di Pakistan ke India. Peristiwa itu diikuti pembunuhan terhadap penduduk Hindu maupun Muslim. Gandhi sendiri melakukan puasa untuk mencari titik terang terhadap masalah ini (Guha 1986: 144). Saat tragis terjadi pada tanggal 30 Januari 1948, ketika hendak pergi dalam suatu upacara agama, Gandhi ditembak mati oleh seorang pemuda Sikh yang mencurigai langkahnya untuk mendamaikan massa yang bergolak.

Penulis: Agnes Sri Poerbasari

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel