Hakikat Penuntut Ilmu

Hakikat Penuntut Ilmu. Asy- Syekh Al-Imam Burhanuddin, pengarang Al-Hidayah berkata: ‘kerusakan besar muncul dari seorang ‘alim yag tak punya malu, lebih rusak lagi seorang bodoh yang ahli ibadah, keduanya adalah fitnah besar di dunia ini, yakni bagi orang-orang yang mengikutinya dalam urusan agama’. Dan Muhammad bin Al-Hasan berkata: ‘Andai semua manusia adalah budakku, niscaya aku merdekakan mereka semua, dan aku bebaskan kepemilikanku atas mereka. Siapa yang telah merasakan manisnya ilmu dan amal, tidak mungkin ia menginginkan apa (dunia) yang dimiliki manusia’.


Hakikat Penuntut Ilmu

Itulah hakikat seorang penuntut ilmu, dimulai dari niat seorang ‘alim dalam menuntut ilmu yang akan mengantarkannya kepada keberkahan ilmu yang dipelajari. Semestinya seorang pelajar berniat menuntut ilmu karena mencari ridha Allah swt, dan kehidupan akhirat, serta menghapus kebodohan dari dirinya dan dari segenap orang-orang bodoh, menghidupkan agama, dan melanggengkan islam. Sebab, kelanggengan Islam adalah dengan ilmu. Zuhud dan takwa tidak akan benar jika dibarengi dengan kebodohan. 


Syekh Al- Imam Al-Ustadz Qawamuddin Hammad Bin Ibrahim Bin Ismail Ash-Shafari Al-Anshari menuliskan syair yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah ‘siapa yang menuntut ilmu untuk negeri akhirat, Ia akan meraih keutamaan dari Ar Rasyad (Allah SWT). Duhai, betapa meruginya orang-orang yang mencari ilmu karena ingin mendapat pujian dari manusia’. 


Seyogianya seorang penuntut ilmu memperhatikan hal itu. Sebab, Ia telah mempelajari dengan susah payah, maka jangan sampai Ia palingkan semua itu hanya untuk kepentingan dunia (yang hina, sedikit, dan fana), Rasulullah SAW bersabda: ‘Hati-hatila terhadap dunia, demi zat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya ia lebih bisa menyihir daripada Harut dan Marut.


Seyogianya seorang ahli ilmu tidak menghinakan diri dengan bersikap tamak terhadap hal yang tidak pantas untuk ditamaki. Dan menjaga hal-hal yang dapat merendahkan ilmudan pemiliknya. Selain itu, hendaknya Ia bersikap tawadhu’. Tawadhu’ adalah bersikap antara sombong dan hina, juga harus besikap ‘iffah (menjaga diri). Abu Hanifah berkata kepada murid-muridnya, ‘besarkanlah ‘imamah (surban) kalian, dan longgarkan lengan baju kalian’. 


Beliau mengatakan hal itu supaya ilmu dan ahlinya tidak direndahkan.

Dalam menuntut ilmu, memilih ilmu dan guru adalah hal yang perlu diperhatikan juga. Thalibul ilmu harus mendahulukan ilmu tauhid dan ma’rifah, dan mengenali Allah SWT dengan dalil-dalilnya. Sebab, keimanan seseorang muqallid meskipun sah, menurut pengarang ta’limul muta’allim, tetapi Ia berdosa ketika meninggalkan istidlal. 

Disamping itu, ia harus memilih ilmu yang terdahulu (al-atiq), bukan ilmu yang baru (al-muhdatsat). Para Ulama terdahulu berkata: ‘ berpegangteguhlah dengan ilmu terdahulu dan jauhilah ilmu baru. 

Jangan sibuk dengan perdebatan yang mulai muncul setelah wafatnya para ulama kibar, karena hal itu dapat menjauhkan dari pemahaman, menyia-nyiakan umur, menimbulkan sikap amoral, permusuhan, dan merupakan salah satu tanda-tanda hari kiamat, serta diangkatnya ilmu dan fikih (pemahaman). Begitulah yang disebutkan didalam hadist. 

Adapun dalam memilih guru, seyogianya seorang penuntut ilmu memilih yang paling berilmu, paling wara’, dan paling tua, sebagaimana Abu Hanifah memilih Hammad bin Sulaiman . setelah merenung dan memikirkannya, ia berkata ‘aku mendapatinya (Hammad) sudah tua, berwibawa, murah hati, dan penyabar’, lalu beliau berkata lagi, ‘Aku belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman hingga aku tumbuh, lalu berkata lagi, ‘aku pernah mendengan salah seorang yang bijak dari Samarkand mengatakan ‘ ada seorang penuntut ilmu meminta pertimbangan kepadaku tentang thalabul ilmi, sementara Ia telah berniat pergi ke Bukhara untuk thalabul ilmi’’. 


Begitulah seharusnya seseorang mesti meminta pertimbangan dalam segala urusannya, karena Allah SWT telah memerintahkan Rasul SAW untuk bermusyawarah dalam segala urusan, padahal tidak ada orang yang melebihi kecerdasan beliau. Namun beliau tetap bermusyawarah meminta pendapat dari sahabat-sahabatnya dalam segala urusan, hingga dalam urusan rumah tangga sekalipun. 


Menuntut ilmu merupakan suatu perkara yang paling tinggi dan paling sulit, sehingga memusyawarahkan persoalan ini menjadi lebih penting dan lebih wajib. Begitulah hakikat seorang penuntut ilmu, ada beberapa hal yang mesti dan perlu diperhatikan oleh para thalabul ilmi dalam menyusuri lautan ilmu. Wallahua’lam.


Penulis; Fatimah Azzahrah

Sumber: Terjemah Ta’limul Muta’allim (Imam Az-Zarnuji).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel