Menafsirkan Perkataan Allah, bolehkah?

Menafsirkan Perkataan Allah, bolehkah? Pernah merenungkah kita? Ketika kita berhadapan dengan sebuah ayat di Al-Quran, kita sekadar membacanya atau sampai memahami maknanya? Paling tidak kita membacanya terlebih dahulu baru kemudian mencari arti ayatnya, lalu mencoba untuk menafsirkannya dengan pengalaman pribadi kita.


Menafsirkan Perkataan Allah, bolehkah?
Foto ; Islam co
Tapi, apakah mungkin manusia yang bergelimang dosa menafsirkan perkataan Allah yang Mulia?
Pada awalnya Allah “mengucapkan” kalam-Nya kepada Jibril, baru kemudian terjadilah proses penurunan wahyu. Lalu, wahyu tersebut disampaikan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW melalui medium bahasa, yaitu bahasa Arab.

Umat  Islam mengimani bahwa dalam proses itu tidak ada unsur penyimpangan makna. Namun, proses penurunan wahyu tidak berhenti disitu saja. Nabi Muhammad SAW menyampaikan firman Allah tersebut kepada para sahabat.

Berbeda dengan Jibril ketika menyampaikan wahyu kepada Nabi secara apa adanya, Nabi Muhammad SAW tidak hanya menerima dan menyampaikan, tetapi juga menjelaskan dan menafsirkan. Bahkan Nabi pun memberikan contoh praktis penerapan wahyu Allah tersebut pada sejumlah ayat. Tak selesai disana, sejarah mencatat bahwa masih ada proses selanjutnya yang harus dilewati, yaitu proses pengumpulan ayat-ayat Al-Quran yang dihafal dan dicatat di berbagai medium untuk kemudian disatukan. Proses ini dilakukan setelah Nabi wafat dan tidak terlepas dari perdebatan sengit di kalangan sahabat. Siapa saja yang berhak mengumpulkan dan bagaimana metode kesaksian jadi perdebatan yang seru saat itu.

Lalu proses selanjutnya, yaitu memperbanyak mushaf yang telah selesai pada masa sebelumnya. Lagi-lagi perdebatan seru terjadi. Perbedaan qiraat (bacaan) dan berapa jumlah mushaf yang dikirim ke daerah tertentu sebagai pedoman bila terjadi perbedaan bacaan merupakan topik pusat perdebatan saat itu. Setelah semua proses ini dilewati (termasuk penambahan tanda baca) maka Al-Quran hadir dan bisa kita nikmati dalam bentuknya seperti sekarang. Proses terakhir adalah proses penerjemahan ayat Al-Quran ke berbagai bahasa di dunia yang bisa saja melibatkan unsur budaya lokal, interpretasi, ekspresi, pilihan kata atau tafsir tertentu.

Betatapun hebat dan canggihnya sebuah tafsir atau terjemahan, kualitasnya tidaklah sama dengan kualitas asli kalamullah yang dibawa Jibril dan disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.

Al-Quran diturunkan berangsur-angsur selama lebih dari 20 tahun. Dalam proses tersebut, Allah SWT berdialog dengan hamba-Nya melalui medium bahasa dengan Nabi sebagai perantara. Karena prosesnya yang berangsur-angsur, maka sebagian ayat turun untuk “mengomentari” peristiwa khusus atau tertentu yang nantinya kita mengenalnya sebagai asbabun nuzul. Sebagian isi Al-Quran merupakan cerita dari Allah SWT tentang masyarakat yang lalu, dan sebagian lainnya merupakan pernyataan-pernyataan ketuhanan mengenai aspek-aspek kemanusiaan (akhlaq, hukum, tauhid, dan lainnya).
Di dalam perjalanannya, terjadi perdebatan lagi; apakah penafsiran atau ijtihad Nabi Muhammad SAW itu bisa dianggap bagian dari wahyu (wahyu ghair matluw) yang pasti benar dan terjamin validitasnya, atau murni berdasarkan akal pikiran (rakyu) yang boleh jadi mengandung kesalahan? Jika berdasarkan rakyu, pada bidang apa saja Nabi Muhammad SAW. boleh berijtihad?

Kita juga memasuki wilayah yang paling musykil (sulit) pada bagian ini: bagaimana kita membedakan antara hasil ijtihad Nabi Muhammad SAW dan hadits Nabi yang merupakan sumber kedua ajaran Islam? Satu hal yang jelas ialah Nabi Muhammad SAW. mewariskan kepada kita Al-Quran Al-Kariim. Meskipun demikian, Al-Quran menggunakan sejumlah kata, susunan kalimat, dan sistematika yang dapat mengundang sejumlah perdebatan.

Begitulah Al-Quran, ada ayat yang begitu mudah dipahami, tetapi ada pula ayat yang tidak sembarang orang dapat memahaminya. Seluk-beluk Al-Quran ini telah dijawab dengan luar biasa oleh para ulama’ dengan sebuah disiplin ilmu, yaitu ‘ulumul Qur’an. Kaidah-kaidah penafsiran yang telah disususun itu merupakan alat bagi umat islam untuk memahami kitab sucinya, dan para ulama’ kontemporer berargumen dan berdebat di wilayah nonsuci, yaitu ‘ulumul Qur’an. Sayangnya banyak yang menganggap ‘ulumul Qur’an sama sucinya dengan Al-Quran.

Pertanyaan lebih jauh, pemahaman atau penafsiran siapakah yang paling benar atau paling mendekati kebenaran sebagaimana yang dimaksud oleh Allah? Siapakah yang berhak mengklaim penafsiran kelompoknya benar penafsiran selain kelompoknya salah? Sejarah mencatat betapa darah amat mudah tumpah hanya karena sebuah tafsir. Banyak orang saling bunuh atas nama ayat suci. Sebenarnya mereka bertindak bukan atas nama Kitab Suci, melainkan atas nama penafsiran yang mereka anggap sama suci dan sama benarnya dengan Kitab Suci.

Akan tetapi, tafsir ibarat dua sisi mata uang, ia juga bisa menggerakkan orang untuk berbuat ramah, toleran, inklusif, dan pluralis terhadap keragaman tafsir. Pertanyaannya, ada di mana posisi kita? Apakah kita berpihak pada tafsir yang dengan rendah hati memosisikan bahwa kebenaran Allah jauh lebih besar daripada ilmu yang didapat manusia?
Wallahua’lam.

Disadur dari buku Tafsir Al-Quran di Medsos karya Nadirsyah Hosen

Penulis: Luthfiya Rifqoh
Pekerjaan : Mahasiswa STEI SEBI

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel