Kisah Popy Wahyu Ningsih Gadis Desa Menjemput Mimpi

Kisah Popy Wahyu Ningsih Gadis Desa Menjemput Mimpi - Saya pernah mengubur mimpi saya, saya pernah mewujudkan mimpi orang lain hanya karena saya tidak percaya dengan kemampuan saya. Tapi seiring berjalan waktu saya sadar bahwa dalam setiap mimpi pasti bisa dicapai dengan kemampuan dan keberanian. Saya lahir pada tanggal 17 Mei 1997, pada hari sabtu dini hari pukul 00.10 WIB di kediaman seorang bidan dari rahim seorang ibu yang bernama Nurmis, istri dari laki-laki bernama Zainal. 

Seminggu setelah kelahiran itu saya dititipkan nama “Popy Wahyu Ningsih”, nama itu hanya bisa bertahan sampai dia kelas 6 SD karena ada kesalahan penulisan ijazah nama tersebut berubah menjadi “Popy Wahyu Ninsih” sampai saat ini. Saya hidup dalam keluarga yang sangat sederhana dan mempunyai satu kakak perempuan yang berusia 5 tahun lebih tua. 

Kisah Popy Wahyu Ningsih Menjemput Mimpi




Almarhum ayah saya bekerja di sebuah rumah makan di Padang, beliau berangkat kerja sebelum shalat subuh atau pukul 4 pagi dan pulang setelah maghrib. Ibu saya bekerja sebagai pedagang, usai shalat subuh beliau sudah beres-beres menyiapkan barang dagangannya. Tinggal di ibu kota Sumatera Barat, kota Padang masa kanak-kanak saya tidaklah seperti anak di kota pada umumnya. 

Saya sering menghabiskan waktu bermain di sungai untuk menangkap ikan, mencari belut disawah dan juga pernah mengumpulkan paku besi atau gelas plastik untuk dijual dibandingkan belajar tentang teori-teori dasar yang dipelajari anak-anak seusia saya kala itu seperti berhitung, membaca, atau belajar di tempat les. 

Semua hal itu saya lakukan sepulang sekolah bersama teman-teman. Saya melakukan itu bukan karena kekurangan uang jajan atau membantu kehidupan keluarga, tapi karena kesenangan dan terkadang juga lari dari rasa kesepian dirumah. Dari kegiatan tersebut saya mendapatkan arti sebuah persahabatan, kesetiakawanan dan kebersamaan yang saat ini 116 mungkin sudah sulit untuk ditemui. Di zaman milenial ini, jarang sekali ditemui anak-anak yang menghabiskan waktu kecilnya seperti kegiatan di atas. Saat ini teknologi sudah mengubah segalanya termasuk karakter diri anak. 

Anak-anak saat ini lebih suka main dirumah, menonton tv dan mendapatkan sesuatu dengan instant. Mereka berinteraksi dengan teman-temannya kebanyakkan hanya lewat media sosial. Akibatnya mereka tidak mempunyai mental sosial yang kuat, malas-malasan, mudah tersinggung, dan asyik dengan dunia sendiri atau tidak bisa bergaul. 

Meskipun masih ada anak-anak yang tidak seperti itu tapi jumlahnya tidak banyak. Selama menempuh pendidikan, saya bukanlah termasuk seorang anak yang berprestasi. Saya hanya seorang anak yang tidak bisa diam dirumah dan selalu ingin berinteraksi dengan teman-teman tepatnya di sekolah. Bagi saya berangkat ke sekolah dengan memakai seragam adalah suatu prestasi yang membanggakan karena di tempat tinggal saya dahulunya sangat jarang ditemukan anak-anak bersekolah. 

Dari SD sampai SMA saya selalu menduduki peringkat 3 besar. Dengan peringkat tersebut sejujurnya saya sangat mudah untuk bisa masuk sekolah ternama dan terkenal akan prestasi akademiknya, tapi ibu saya selalu mengalasankan tidak punya biaya. Pada akhirnya saya mengubur mimpi-mimpi tersebut dan memilih sekolah ditempat yang biasa-biasa saja dan dekat dari rumah agar bisa jalan kaki dan tidak mengeluarkan biaya yang mahal. Mungkin ketika masuk sekolah teman-teman akan memakai seragam baru. 

Tapi itu tidak berlaku bagi saya, saat SMP dan SMA saya memakai seragam bekas yang masih layak dipakai. Semua itu dikumpulkan oleh ibu saya dengan datang kerumah tetangga atau saudara saya yang sudah lulus. Kebiasaan saya dari kecil yang selalu berkutik dengan alam seperti ke sungai, sawah dan hidup dilingkungan masyarakat yang mayoritas bertani dan berdagang memotivasi saya untuk mendalami ilmu tentang kehidupan alam. 

Tahun 2015 saya mendapat kabar bahagia, saya diterima di Institut Teknologi Bandung di fakultas Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati di jurusan Teknologi Pasca Panen lewat program peminatan dan sebagai calon penerima bidikmisi. 

Hari itu rasanya campur aduk antara bahagia dan sedih, karena keinginan kuliah diluar kota saya sudah didepan mata, akan tetapi ibu saya tidak mengizinkan karena merasa tidak mampu membiayai kehidupan kuliah disana. Saat itu ibu saya adalah kepala keluarga di rumah, ayah sudah meninggal dunia tepatnya 21 Juni 2013. Saya meyakinkan ibu dengan segala keyakinan yang ada, saya berjanji tidak akan menyusahkan beliau dan tidak akan berhenti di tengah jalan dan akan terus menuntaskan kuliah hingga selesai. Mungkin ini terkesan saya sangat egois dan seperti anak yang tidak tahu diri. 

Tapi saya berpikir selama ini saya sudah cukup mengalah dengan keadaan tidak mempunyai biaya dan membiarkan mimpi-mimpi saya terkubur dan saya tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Saya mengambil kesempatan tersebut, saya yakin pasti ada jalan untuk menyelesaikan permasalahan biaya hidup seperti tempat tinggal, uang jajan atau apapun yang berhubungan dengan finansial. Saya terus berdoa agar Allah melembutkan hati ibu saya dan dengan dorongan keluarga dan sahabat-sahabatnya ibu saya berubah pikiran dan mengizinkan saya berkuliah di Bandung. Beliau meminjam uang kepada orang-orang untuk mengantarkan saya ke Bandung. 

Hal itu menyadarkan saya bahwa hidup keluarga saya sangat memprihatinkan dan hal tersebut mengajarkan saya untuk harus merubahnya menjadi kehidupan yang layak dan membahagiakan beliau, salah satunya adalah dengan pendidikan. Saat ini saya sudah menduduki semester 8, mimpi saya untuk lulus dan menyandang gelar sarjana sudah dekat. Perjalanan hidup saya masuk kuliah sampai semester ini sangat berliku-liku. 

IP dibawah dua pernah saya dapatkan ketika TPB (Tahap Persiapan Bersama), hal tersebut membuat keluarga di Padang merasa takut saya akan dikeluarkan dari ITB. Tapi saya berusaha bangkit dan meyakinkan mereka itu adalah tantangan yang pasti akan saya lewati. Segala upaya saya usahakan mulai dari belajar sendiri, tutorial dengan teman-teman yang pintar dan mencari kakak tingkat yang mau mengajarkan saya. 

Dan akhirnya saya berhasil melewati itu semua. Satu hal ego yang saya kesampingkan selama kuliah ini adalah keinginan punya kamar sendiri. Selama kuliah saya tidak pernah merasakan punya kamar sendiri, saya selalu tinggal di asrama dan berbagi kamar dengan orang lain karena biaya kos sangat mahal, sedangkan asrama sangat murah yaitu Rp.300.000/ bulannya. 

Tahun pertama saya tinggal diasrama Kanayakan, tahun berutnya dua, tiga dan empat saya tinggal di Asrama ITB Jatinangor karena perkuliahan saya di Jatinangor. Saya sadar keinginan punya kamar sendiri atau kos itu mungkin bisa dipenuhi orang tua saya, tapi beliau akan kelelahan dan saya tidak ingin air mata nya berjatuhan lagi memikirkan biaya saya. Oleh karena itulah saya menahan ego untuk tetap tinggal di asrama selama 3,5 tahun ini. 

Terkadang saya juga sering menyusahkan sahabat-sahabat saya yang tinggal di Ganesha, saya sering menumpang di kosan mereka jika saya main di Ganesha atau ada kuliah di Ganesha. Namun sampai saat ini mereka tidak pernah mengeluh dengan hal itu, saya selalu merasa dimudahkan karena memiliki mereka. Sepertinya kemudahan yang saya dapat selama dikuliah ini adalah bentuk karakter diri saya yang mudah bergaul dengan orang lain atau karena sudah terbiasa susah dari sejak kecilnya sehingga tidak kaku dan tidak malu untuk meminta pertolongan. 

Pelajaran yang bisa ambil dari kisah saya ini adalah bukan tentang melawan keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tempat seadanya. Tapi bagaimana tentang kegigihan dan ketekunan diri teman-teman untuk mendapatkan restu orang tua dan meyakinkan beliau dalam mencapai mimpi teman-teman. Karena dalam alquran Allah sudah menyebutkan “dalam kesulitan, pasti ada kemudahan”. 

Dan hal yang paling penting adalah tetap rendah hati, membuka diri untuk bersosialisasi dengan orang lain dan jangan merasa paling pintar adalah kunci untuk hidup berdampingan. Sebodoh-bodohnya atau seburukburuknya manusia, saya yakin pasti memiliki kelebihan yang tidak kita punya. 

Meskipun sekarang teknologi sudah berkembang, segala kebutuhan dengan mudah dapat di jangkau bukan berarti kita bisa hidup independent. Etika dan pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang harus dimiliki. Saya pernah mendengar kutipan dari seorang kepala badan ketenagakerjaan bahwa pintar itu ada batasnya tapi bodoh itu tanpa batas. 

Hal tersebut dapat dilihat dari seorang yang pintar mengerti tentang semua hal, berprestasi dan menjuarai segala bidang namun tidak mampu berkomunikasi dan tidak memiliki emosional yang baik, mudah marah dan tidak bisa bekerja kelompok maka kepintarannya itu terbatas. Dia akan di anggap bodoh karena tidak mampu bersikap dan beradaptasi dengan lingkungannya. Oleh karena itu jadilah diri sendiri dan jangan menyerah dengan keadaan.  


Baca Juga : Kisah Rita Puspitasari yang mewujudkan impiannya Bisa Kuliah di ITB


Judul Paten : Menjemput Mimpi
Penulis : Popy Wahyu Ninsih 
Judul Buku : Rangkaian Titik Kehidupan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel