Kisah Sukses Mahasiswa IPB Berhasil Meraih Medali Emas pada PIMNAS 2018

Cerita Mahasiswa IPB yang Sukses Meraih Medali Emas pada PIMNAS 2018 Setiap peristiwa dalam hidup adalah pelajaran yang dapat menjadi makna. Termasuk kisah sang kawan yang coba ku uraikan dalam runtutan kata yang terangkai menjadi kalimat. Kisah yang diceritakannya padaku dapat mengubah cara pandangan hidupku tentang mimpi. Kisah ini menjadi salah satu sumber inspirasiku, maka untuk mengabadikannya dan menceritakannya pada dunia, aku memilih menggerakkan tangan untuk mengetik huruf per huruf dari apa yang pernah diceritakannya. Semoga kalian semua akan sama seperti ku, terinspirasi. Begini ceritanya!

Kisah Mahasiswa IPB Berhasil Meraih Medali Emas pada PIMNAS 2018


Kisah Sukses Mahasiswa IPB Berhasil Meraih Medali Emas pada PIMNAS 2018

Tiba-tiba bel panggilan penumpang pesawat Line Air Banda Aceh menuju Jakarta berbunyi. Penumpang diharapkan segera naik ke pesawat. Aku dan dua teman ku bersiap-siap. Kami berpamitan pada keluarga yang ikut mengantarkan, berpelukan dengan sahabat-sahabat, dan mencium kening ayah ibuku. Mungkin empat tahun kemudian aku bisa kembali menjejakkan kaki di bandara ini. Aku kembali dengan ketuntasan impian ku, menyandang gelar sarjana.

Ayah memukul pundakku dan mendekapku dengan erat, dalam dekapannya dia berpesan

 “Kau kuberi nama Hizam Abdullah yang berarti penerang, penerang untuk keluargamu, agamamu, dan negerimu. Berjuanglah kau seperti kupu-kupu, perlahan, sabar, dan jangan pernah berhenti sebelum kau bisa terbang dan menjadi indah untuk menyemai yang lainnya. Jangan lupa dengan janji mu pada ayah, bisa bermanfaat bagi sesama. Kembalilah dengan solusi untuk negerimu. Karena negara butuh anak muda yang kuat dan cerdas untuk merubahnya. Ayah yakin kau lah orangnya.”

Jiwaku bergetar, air mata mengalir deras di pipi. Pesan ayah membuatku harus berjuang keras dengan pilihanku.

 “Aku janji ayah,” jawabku dalam hati. 

Tanganku menghapus air mata, pipiku bergerser ke kiri dan ke kanan, terciptalah senyuman sambil menatap ayah dan ibuku. Kusalami kedua tangannya, tangan yang sudah berjuang untuk hidupku sampai hari ini. Aku mengambil koper dan semua barang bawaanku. Aku berjalan menuju tangga pesawat. Kulambaikan tangan pada ayah, ibu, keluarga, dan sahabat-sahabatku. Aku siap terbang untuk perjuanganku melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Awalnya ayah dan ibu tidak setuju jika aku kuliah di luar Aceh. Mereka tidak mampu membiayaiku. Ayah sudah tidak bekerja lagi, dan ibu hanya seorang buruh cuci di rumah tetangga. Aku mempunyai dua orang adik perempuan yang masih aktif bersekolah. Bagaimana mungkin aku bisa kuliah di luar Aceh, di Aceh saja tidak ada jaminan untukku bisa kuliah. 

Sejak ayah terserang komplikasi penyakit, dia sudah berhenti dari pekerjaannya. Setiap minggu aku rutin mengantarkannya ke rumah sakit untuk cuci darah, karena penyakitnya itu dia lumpuh total. Kelumpuhan ayah melumpuhkan semuanya. Kondisi ini memaksa ku menjadi tulang punggung keluarga. Sambil sekolah aku bekerja di salah satu percetakan dekat sekolahku. Soft skill memainkan Corel Draw, mengotak-atik Photoshop menjadi nilai tambah untukku di dunia kerja. Upah yang ditawarkan tidak besar, tapi setidaknya bisa meringankan beban ibu untuk bekal adik-adikku ke sekolah. 

Suatu malam ayah pernah bertanya pada ku 

“biaya kuliah mu bagaimana zam? Jika kamu berharap dikirimkan, maka itu anggapan yang mustahil anakku!!” Terlihat keraguan di wajah ayah. 

“Hizam akan coba tes beasiswa yah, yaitu beasiswa bidikmisi. Bidikmisi itu merupakan beasiswa dari pemerintah untuk anak Indonesia yang kurang mampu tapi punya keinginan kuat untuk kuliah. Bidikmisi akan mensubsidi uang kuliah selama empat tahun, dan pesertanya diberikan uang saku sebesar Rp600.000 per bulan. Jadi cukup untuk Hizam hidup. Hizam juga akan cari pekerjaan tambahan seperti disini. Hizam akan kembangkan Soft skill Hizam disana. Jadi ayah dan ibu tak usah memikirkan Hizam lagi. 

Anggaplah jika Hizam sudah bebas dari tanggungan ayah dan ibu. Hizam akan bantu ibu dari sana yah, sebagian uang akan Hizam kirim untuk biaya adik-adik sekolah. Hizam janji sama ayah, Hizam akan lulus dalam waktu 3,5 tahun dengan predikat cumlaude. Hizam akan jadi perwakilan mahasiswa angkatan Hizam yang bicara di podium saat wisuda nanti yah. Hizam janji tidak akan mainmain kalau Hizam ada disana.” Sinar meyakinkan terpancar jelas di wajahku “Oke, ayah pegang janji mu!!, Lantas bagaimana jika kamu tidak lulus beasiswa itu nak?” Tanyanya meragukanku “Insyaallah lulus ayah.” Tatapku meyakinkannya.

Sekarang aku berada di kampus impianku. Kakiku menginjak tanah universitas yang sudah kuimpian sejak dulu. Aku menjalani hari-hari ku di kampus. Berkenalan dengan temanteman dari seluruh Indonesia, aktif di berbagai kegiatan kampus, dan tidak lupa janjiku pada ayah lulus cumlaude selama 3,5 tahun. Jadi aku harus mengimbangi urusan akademik dan non akademikku, karena mahasiswa istimewa adalah mereka yang tidak hanya kaya IPK tapi juga kaya pengalaman. Bukan perkara mudah menselaraskan keduanya, tapi itulah yang dikatakan perjuangan.

Hingga suatu hari Allah memberikan kesempatan bagiku mengikuti Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM). Aku mengikuti PKM KC, merupakan program yang mendasari atas karsa dan nalar mahasiswa bersifat konstruktif menghasilkan suatu sistem, desaign, model/barang, atau prototipe dan sejenisnya, yang memberikan manfaat bagi yang lainnya. Aku teringat dengan pesan ayah saat di bandara “jadilah kau penerang untuk keluargamu, agamamu, dan negaramu”. Pesan ayah menjadi motivasi awal untuk inovasi yang akan kuciptakan. 

Aku seorang mahasiswa Ilmu Komputer, dengan demikian inovasi yang kuhasilkan harus sesuai dengan keilmuwanku. Menciptakan aplikasi yang mampu mempermudah masyarakat dalam hidupnya. Aku berfikir menciptakan aplikasi pembagian harta warisan atau dalam islam dikenal dengan Ilmu Faraidh. Aplikasi ini akan mempermudah pembagian warisan sesuai ketentuannya, sehingga mengurangi percecokan sesama anggota keluarga. 

Harta merupakan bagian yang sangat sensitif, sebuah keluarga yang harmoni bisa hancur hanya persoalan harta. Oleh karena itu, melalui aplikasi ini aku berharap semua itu dapat diminimalisirkan. Aku bersama rekan kerjaku berjuang keras untuk project ini. Target terbesar kami adalah membawa medali emas untuk IPB di ajang PIMNAS dan hasil aplikasinya dapat bermanfaat untuk seluruh masyarakat Indonesia. Berkat doa dan kerja keras project itu tuntas mendapatkan tindak lanjut dari DIKTI. Aplikasi yang kami rancang bernama Al Faraidh V1.0.  

“Usaha tak pernah mengkhianati hasil”. Satu kalimat ampuh yang selalu membakar semangatku untuk terus berjuang. Jika kita bekerja maka Allah akan melihat pekerjaan kita. Aplikasi Al Faraidh V1.0 hasil karyaku dan teman-taman berhasil membawa medali emas pada PIMNAS 2018 untuk Institut Pertanian Bogor.

Dihari itu juga aku menerima kabar jika sang pemberi pesan yang menjadi motivasi kuatku untuk menciptakan karya ini dipanggil Sang Kuasa. Iya! Ayah meninggal tepat dihari aku sedang berjuang untuk membanggakannya. Kemenanganku adalah hikmah dibalik musibah yang baru saja menimpaku. Ini hadiahku untuk ayah, keberhasilan ini kupersembahkan untuknya. 

“Ayah aku tidak berhenti dan terus lanjut meski kerikil-kerikil itu terlalu tajam untuk ku. Benar kata ayah, menjadi mata air itu harus dengan air mata. Seperti nama yang sudah ayah wariskan pada ku “Hizam Abdullah” yang berarti penerang. Hari ini aku sudah menjadi penerang untuk keluargaku, negaraku dan agamaku. Semoga aku bisa terus memancarkan cahaya-cahaya manfaat lainnya.” Hatiku bersuara. 

Kisah Hizam Abdullah memberikan makna besar pada kita. Sekeras apapun musibahnya, kita tetap harus menuntaskan apa yang sudah dimulai.  

Judul : Pesan Ayah
Penulis : Nurhayatul Ulfah 
Buku : Rangkaian Titik Kehidupan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel