Hukum Akad Ar-Rahn (Gadai)

Inilah Hukum Akad Ar-Rahn (Gadai). Sebelum kita membahas lebih dalam tentang hukum dari akad Rahn, kita harus mengetahui dulu apa itu akad rahn. Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya, barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai. Sedangkan menurut Fiqih islam rahn adalah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang.

foto: islamedia.web.id

Hukum Akad Ar-Rahn (Gadai)

Rahn diatur dalam fatwa DSN_MUI Nomor: 25/ DSN_MUI /III/2002 Tentang Rahn. Fatwa DSN menyebutkan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang (Rahn) itu dibolehkan. Begitupula meminjam uang dengan jaminan barang berharga termasuk emas itu dibolehkan juga.Fatwa tersebut menjelaskan tentang maksud, tujuan disyariatkannya rahn serta fungsi rahn sebagai jaminan (tautsiq) yang berlaku pada akad qardh atau transaksi tidak tunai. Karena fungsi rahn adalah sebagai jaminan atas utang maka tidak boleh dimanfaatkan oleh rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai). Hal ini sejalan dengan maqashid di syariatkannya rahn.

 Secara umum hukum rahn terbagi menjadi 2 yaitu sahih dan fasid

Hukum rahn sahih adalah rahn yang didalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada suatu yang haram. Contoh hukum rahn sahih itu dalam akad rahn disyaratkanbarang harus berada dibawah tanggung jawab rahin.

Hukum yang kedua akad rahn adalah Hukum rahn Fasid yaitu Hukumnya tidak memenuhi persyaratan tersebut. Menurut Ulama Hanafiyah hukum rahn fasid terbagi lagi menjadi beberapa macam, antara lain:

a. Hukumnya Rusak (Fasid)

Menurut jumhur ulama bahwa rahn yang dikategorikan tidak sah dan menyebabkan akad batal atau rusak, yaitu ketika tidak adanya dampak hukum pada barang gadai. Oleh sebab itu, murtahin tidak memiliki hak untuk menahannya. Begitu pula, rahin diharuskan meminta kembali barang gadai.

Jika murtahin menolak dan barang gadai (objek rahn) nya sampai rusak, murtahin dipandang sebagai perampas. Apabila hal ini terjadi maka harus mengganti objek rahn nya, diusahakan mengganti dengan barang yang sama, apabila barangnya langka dan  susah dicari maka diganti dengan sesuatu yang sama nilainya.

Jika Rahin meninggal padahal dia dalam keadaan berhutang kepada murtahin, murtahin lebih berhak atas rahin fasid tersebut seperti halnya pada hukum rahin sahih. Hukum Rahn dikatakan fasid atau rusak apabila tidak terpenuhinya persyaratan pada sifat akad, seperti halnya barang jaminan berkaitan dengan barang lain.

b . Hukumnya Batal

Akad Ar-rahn dikatakan batal apabila akadnya tidak memenuhi persyaratan pada saat akad, seperti aqid tidak cakap (ahli) atau aqid nya belum baligh dan tidak berakal, pada saat akad tidak ada ijab qabul. Maka hal-hal tersebut membatalkan akad Ar-rahn dan hukumnya menjadi batal.

Apabila dalam akad gadai menyertakan sebuah persyaratan yang sejalan dengan akad maka diperbolehkan akan tetapi apabila persyaratannya merugikan pegadai, maka akadnya batal. Sebab, adanya persyaratan yang menciderai akad. Karena akan merugikan salah satu pihak yang berakad.

Penulis
Oleh: Yulianti (Mahasiswa Akuntansi Syariah STEI SEBI)

Sumber:
Fatwa Dewan Syariah No.25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Ar-Rahn
Fatwa Dewan Syariah No.26/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang Rahn Emas
Dr.Oni Sahroni, M.A., Ir.Adi Warman A. Karim, S.E., M.B.A.,M.A.E.P . “Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam”. Hlm 150-152

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel