Mutiara di Ladang Tetangga

Mutiara di Ladang TetanggaGenerasi emas. Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan generasi emas? Hanya anakanak yang berpijak di bumi pertiwi sajakah? Mereka disiapkan melalui berbagai pendekatan baru. Bantuan, pendampingan kurikulum baru, dan segalanya. Lalu, bagaimana dengan mereka, anak-anak para buruh migran –yang sejatinya berhak menjadi generasi emas- ? Kaum yang dipandang sebelah mata dan terbuai mimpi untuk dapat merasakan nikmatnya duduk di bangku sekolah. Atau, ‘rumah’ orangtuanya yang tak lagi menjadi surga. Apa yang telah disiapkan untuk mereka?

Mutiara di Ladang Tetangga


Mutiara di Ladang Tetangga

Berawal dari kegelisahan menyaksikan kehidupan anak-anak buruh migran yang tak merasakan nikmat bangku sekolah, dibentuklah VTIC (Volunteerism Teaching Indonesian Children) dengan penuh perjuangan oleh beberapa mahasiswa yang berjiwa besar. Tidak semudah meniup debu, namun melalui proses panjang penuh liku. Maka, adalah suatu kehormatan dapat menjadi bagian dari keluarga besar VTIC, dan kisahku dimulai dari sini, sebagai relawan pengajar di Miri, Sarawak, Malaysia. 

Aku bersama kedua temanku, Dina dan Ipan, dengan almamater yang berbeda, ditempatkan di Ladang Mutiara selama satu bulan. Kami tinggal bersama staf yang berasal dari Bintulu dan Kuching, Malaysia, yang menerima kami dengan baik layaknya saudara. Sayangnya, terlihat ada ketimpangan antara perumahan staf dengan perumahan buruh penombak kelapa sawit. Perumahan staf disebut dengan perumahan batu karena material penyusun rumah panggungnya adalah batu dan kayu sedangkan perumahan buruh penombak terdiri dari perumahan batu dan perumahan kayu.

Perumahan batu tentu memiliki fasilitas lebih lengkap yakni terdapat surau dan lapangan, setiap rumah memiliki fasilitas MCK sendiri, ruangan di rumah lebih banyak, dan lebih bersih. Sedangkan di perumahan kayu, jamban tidak berada di masingmasing rumah melainkan jamban komunal, tidak terdapat surau dan lapangan, letaknya jauh dari office dan perumahan batu, serta nampak kumuh. 

Namun bila ditanya, para buruh yang tinggal di perumahan kayu mengaku bahwa bagaimanapun kondisinya tidak menjadi masalah karena mereka tetap merasa berada di kampung sendiri, tinggal bersama orang-orang dari suku yang sama. Ya, para buruh didominasi oleh orang asli Sulawesi.

Upah besar yang diterima setiap bulan menjadi orientasi kehidupan di sini. “Mana mungkin di Indonesia kami mendapat gaji setinggi itu sedangkan kamipun tidak lulus SD.” Ya, sangat menggiurkan memang. Upah suami istri yang dapat mencapai 3000 RM tentu sangat susah mereka dapatkan di kampung halaman. Sebagian dari upah tersebut disimpan untuk bekal masa depan, namun bila ditelisik lebih dalam, kebanyakan dari para buruh migran ini belum memiliki rencana terkait masa depan anaknya, yang disinggung tiap kali ditanya hanyalah kerja dan gaji. 

Bukan salah mereka, justru di sinilah peluang bagi kami, para relawan, untuk masuk ke dalam kehidupan mereka memberi ‘sedikit informasi’ tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Beberapa hari kami luangkan untuk berkunjung ke rumah adik-adik guna membincangkan tentang masa depan adik-adik bersama orangtuanya. Oh, tidak, kami tidak berharap dapat mempengaruhi terlalu besar, namun hanya ingin mereka mengetahui informasi terkait pendidikan dan beasiswa yang mungkin belum pernah didengar sebelumnya. Semoga menjadi awal dari pengambilan keputusan yang tepat dalam keluarga mereka. 

Suasana di ladang begitu tenang, setiap pagi hanya pepohonan sawit dan parit yang menjadi pemandangan. Jarak yang jauh antara sekolah dengan rumah tempat kami tinggal justru memberikan keberkahan tersendiri sehingga kami dapat saling sapa bila bertemu para buruh migran di jalan. Setiap pagi adik-adik menyambut kami dengan hangat dan riang. Hanya pada hari pertama mereka malu-malu, hari-hari berikutnya kami sudah mulai akrab.

Meskipun sekolah kami seluas 3x4 m2 tak membuat semangat adik-adik turun dalam menimba ilmu. Saban hari, pukul 7 waktu setempat mereka sudah siap di sekolah. Sembari menunggu kami, mereka sarapan bersama terlebih dahulu., kemudian berbaris rapi dan masuk kelas. Tentu bukan hal mudah dalam mengajar, setiap hari tentu kami ditantang untuk menjadi kreatif dalam mengajar agar menjadi daya tarik bagi adik-adik dan pelajaran tersampaikan dengan menyenangkan. Hal yang paling membuat saya bahagia adalah tingginya kemauan adik-adik dalam belajar apa yang belum mereka ketahui. Momen paling mengesankan adalah ketika kami menyelenggarakan lomba peringatan HUT RI ke-70. Terlihat canda tawa yang lepas dari setiap bibir mereka. Sungguh, kami akan merindukan masa-masa seperti ini. Belajar sportif, menghargai orang lain, dan bertanggungjawab menjadi tujuan kami mengadakan perlombaan ini. Selain itu, layaknya seorang guru, tidak hanya memberikan pengajaran namun juga menjadi teladan bagi mereka. Maka, adalah kewajiban kami untuk terus memperbaiki diri. 

Mutiara di Ladang Tetangga 

Karya: Niil 

Mengapa lambai nyiurmu tak seperti dulu? 

Kini rendah dan tak bergairah 

Mengapa tanahmu tak seperti dulu? 

Hanya putih dan berbatu, kini 

Mengapa terbitnya mentari tak seperti dulu? 

Bukan di balik gunung yang gagah, atau bentang samudra 

Namun di balik dedaunan sawit yang basah 

Mengapa kampungmu tak seperti dulu? 

Kini sungguh asingkan aku

Ah, jangan kau gelisah 

Aku tetap ‘kan menjadi yang kau bangga 

Meski berada di ladang tetangga 

Aku tetap anak Indonesia 

Mer. de. ka. Merdeka! 

Merdeka! 

Merdeka! 

Negeri tetangga, Malaysia. 18 Agustus 2015   


Judul : Mutiara di Ladang Tetangga
Penulis : Fitriawati 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel