Perjalanan Seorang Mahasiswi dalam Mencari Guru

Mencari Guru - Perjalananku sangat indah dan semoga hingga seterusnya. Setiap cerita hidupku selalu bisa terekam tanpa dipaksa, terutama ceritaku sejak SMA. Ini bukanlah perjuanganku, melainkan perjuangan orangtuaku. Aku seorang siswa SMA yang setiap hari membawa kue Ibu untuk dijual dan dimakan. Mungkin lebih banyak kue untuk dimakan karena sisa kue yang dibawa kembali bisa menambah berat tasku yang sudah berisi buku. Kue dengan rasa terenak yang kurasakan. 

Perjalanan Seorang Mahasiswa dalam Mencari Guru


Perjalanan Seorang Mahasiswai dalam Mencari Guru

Dengan kue itu aku bisa berangkat dan pulang setiap hari, menabung uang kertas dan koin setiap hari, membayar kas sekolah, fotokopi soal-soal, membeli kaos kaki, dan masih banyak lagi. Kue itu pula yang mungkin menjadi perantara aku sekarang kuliah di Institut Teknologi Bandung. Aku teringat saat aku mengemas sisa kue saat itu, masih ada guru biologi di sana dan aku dipanggil ke depan kelas. Sedikit panik karena mungkin aku salah karena tidak biasanya berkemas sebelum guru meninggalkan kelas. 

Aku beranjak ke depan kelas, dan berbalik menghadap teman satu kelas yang sunyi menatapku saat itu. “Cita-cita kamu apa Triah?” pertanyaan yang tidak kuduga sama sekali terlontar dari Bu Puspita, Guru Biologi SMAN 25 Bandung-ku. Aku tidak lama berpikir, sontak ku menjawab, “Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bu”. Tidak lama dari itu, aku langsung menangis saat mendengar Ibu dan semua temanku mengaminkan apa yang kuucapkan itu. 

Sekarang, aku duduk di Institut Teknologi Bandung tepatnya di Jurusan Rekayasa Kehutanan. Menjadi salah satu dari lima ratusan mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi tahun 2015 di ITB adalah suatu kebanggaan tersendiri yang selalu menjadi motivasiku setiap saat hingga hari ini. 

Decak kagum, haru, dan bahagia yang tidak terkira selalu kurasakan setiap kali mennyanyikan lagu Indonesia Raya pada acara Pembinaan Terpusat beswan Bidikmisi. Melihat teman-teman seperjuangan yang membawa latar belakang unik masing-masing yang, mendengar cerita mereka yang sangat menginspirasi, melihat beswan yang lebih dulu menerima penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi, dan banyak lagi. Setiap kali pulang ke rumah, kesenangan itulah yang selalu kuceritakan.

Tingkat pertama, mungkin seperti kebanyakan mahasiswa ITB lainnya, masih terkesan mahasiswa yang kurang bersosialisasi, ambis kuliah, kuliah pulang alias ‘ku-pu ku-pu”, tidak banyak kenal dengan teman, bahkan pada teman satu fakultas. Namun, memang inilah yang kuinginkan pertama kali, yaitu menjadi mahasiswa yang menikmati mata kuliah setiap harinya. Aku tidak merasa bersalah dengan itu, aku senang karena aku sudah cukup pulang dan rutin melihat keadaan keluarga di Bandung Selatan. 

Terdengar cukup dekat, rumah-ku memang hanya ditempuh 1.5-2 jam dengan angkutan umum dari Dago. Itulah kepuasan hatiku, batinku tenang saat berkumpul dengan orang tua, 3 kakak, dan 3 adikku.

Di tingkat dua, aku ingin sedikit berbeda, merasakan organisasi, mencari kesibukan lain selain belajar. Meskipun sebenarnya tidak sibuk dengan belajar karena aku bukanlah tipe yang belajar dengan buku. Bagiku mendengar dan berbicara adalah belajar yang paling ampuh. Alhamdulillah di jenjang ini aku mencoba menjadi trainer untuk salah satu kegiatan tahunan ITB, yaitu Strategi Sukses di Kampus dan Co-Fasilitator di Strategi Mencapai Pribadi Efektif. 

Berkecimpung di Lembaga TPB menjadi suatu kesempatan yang sangat berpengaruh bagiku hingga sekarang, dalam hal apapun itu. Bahkan dengan aku masuk dalam LTPB, aku berkesempatan menjadi konselor untuk adik tingkat  mengenai kuliahnya, mendengar curhatan mereka, mendengar progress akademik mereka, dan sebagainya. Hal yang dahulu aku inginkan saat duduk di TPB. 

Dari sana, aku mulai mengenal beberapa orang baru, dan lebih banyak lagi dari yang kukira. Saat itu aku juga mulai masuk kedalam kepanitiaan untuk monitoring dan evaluasi PKM dari Barudak ITB Juara ITB, hingga pada akhirnya aku menjadi ketua Baritra ITB untuk Kampus Jatinangor.

Semua berawal dari keinginanku untuk berorganisasi dan mendapatkan relasi demi membangun tali silaturahmi selebarlebarnya (yang sebenarnya aku lewatkan ketika di TPB). Ternyata dengan menyibukkan diri, nilai-nilai ku justru meningkat dan merasa lebih bersyukur dengan keseharianku yang mungkin lebih berarti daripada sebelumnya. Tibalah saatnya ku mulai masuk kegiatan himpunan yang menurut beberapa temanku ‘cukup menyeramkan’. 

Bahkan sempat tersirat dalam benak agar aku tidak mengikuti kegiatan himpunan di jurusanku. Kembali lagi pada tujuanku, tali silaturahmi dan pengalaman adalah guru yang paling hebat. Saat pulang, Ibu kerap menanyakan padaku tentang jurusan kehutanan dan bisa menjadi apa lulusannya. 

Apa yang akan kuketahui, kubayangkan, dan kudapatkan jika tidak masuk ke dalam sistem itu? Teringat hal itu, aku memberanikan masuk dalam himpunan jurusanku seperti teman angkatan lainnya. 

Tidak ragu lagi, aku pun ikut membujuk teman yang menolak masuk ke himpunan hingga akhirnya teman angkatan 2015 semua berhimpun seperti yang disuratkan dalam 7 budaya Kampus ITB. Tibalah kepengurusan 2015 masuk ke dalam badan pengurus, dan Alhamdulillah diberi kesempatan menjadi seorang kepala departemen yang bergerak di bidang keprofesian dan kemasyarakatan. 

Kegiatan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, hingga hampir setiap hari aku menangis terharu mengucap syukur. Dengan terjun di dunia yang menurutku baru, aku harus lebih bisa menguasai apa itu manajemen waktu, prioritas, dan manajemen emosi dengan jadwal himpunan yang kerapkali bentrok dengan jadwal yang sudah kubuat terkait akademik. 

Aku berpikir jauh, tingkat tiga ini sebaiknya aku mencari pengalaman baru agar aku tidak kehabisan cerita apabila adik paling kecilku selalu bertanya di rumah. Di tingkat ini aku menyibukkan diri dengan kegiatan asisten praktikum di 2 mata kuliah dan salah satunya menjadi koordinator. Tingkat ini pula aku berkesempatan untuk mempresentasikan tentang SDG’s 2030 di depan kepala prodi fakultasku dan mendapat predikat mahasiswa berprestasi jurusan tahun 2018. 

Sungguh kenangan yang sangat indah dan tidak terlupakan. Mencoba melontarkan gagasan yang selama ini kupendam dan kutulis, kunikmati sendiri di atas kertas putih, dan ku berdoa akan itu. Pada tahun yang sama itu, aku dan dua sahabatku mengikuti lomba nasional di bidang kehutanan tantang gagasan sistem budidaya terpadu di IPB dalam National Environomic and Social Talk 2018 dan mendapat juara 2.

Banyak sekali cerita yang menjadi pengingat dan motivasi bagiku yang dapat kuselipkan disela-sela kelelahan dan tekanan saat mengerjakan tugas. Bukan tekanan yang berat, namun biasanya terlalu berlarut-larut hingga terkadang aku melamun dan mengeluh.

Dari semua yang telah kualami, aku menyimpulkan bahwa dengan memiliki banyak teman, berani mencari pengalaman, dan selalu tersenyum adalah tiga hal yang membuatku berdiri menjadi seorang Triah yang sekarang. Seseorang yang sedikit terbuka dari sebelumnya, sudah dapat menceritakan apa yang ditulis, dan mengemukakan apa yang dipendam. Selain itu, di tahun yang sama aku mencoba mencari penghasilan lain dari kegiatan yang juga kusukai, yaitu mengajar. 

Mulai Bulan Maret, aku menjadi pengajar sebuah bimbingan belajar dan privat di salah satu lembaga swasta dekat kampus Jatinangor. Bertemu dengan orang baru lagi dan berbicara lagi semakin menambah percaya diriku yang biasanya sulit keluar. Untuk mengasah lagi kemampuan berbicara, aku mencoba ikut sebuah acara yang bertajuk Future Leader Summit di Semarang. 

Ya, bersama dengan sahabatku, Susi Handayani. Aku banyak sekali belajar mengenai apa dan bagaimana menjadi seorang pemimpin, pemutus kebijakan, pembicara, dan pendengar. Di sana kami berlomba dan bersikap hingga kami sukses menyabet penghargaan “The Most Outstanding Ministry” dan aku menuliskan pada secarik kertas bertandatangan mengenai gagasan yang kami diskusikan untuk diajukan pada Pak Menteri Pertanian Indonesia. Sungguh pengalaman luar biasa yang terekam hingga aku duduk disini, tingkat empat ITB. 

Jenjang yang kuawali bersama timku untuk mengikuti suatu lomba Zero Carbon ITB. Ya, 10 besar dalam kompetisi ini sudah sangat berarti bagi kami. Semoga hal ini menjadi titik ikat yang mendorong kemanapun base line bergerak. Ke manapun kompas menunjukkan, semoga jarum tidak akan salah mengarah.

Setiap hari ku mencari guru, setiap waktu menjadi pembelajaran bagiku, apapun itu. Tentang asmara misalnya? Bagaimana? Hihihi ya, termasuk itu. Aku banyak belajar dengan mendengar cerita tawa dan gundah dari teman-temanku. Pembelajaran yang setiap hari datang dan sekarang kusadari bahwa itulah yang aku butuhkan. 

Belajar dengan lingkungan, belajar dengan mata hati, belajar dengan perasaan, belajar bersama kedamaian, belajar menikmati perjuangan, semua aktivitasku adalah belajar. Terkadang aku heran ketika beberapa orang berkata pada yang lainnya, “udah, ga usah belajar mulu”, karena setiap hari bagiku, setiap temuan, setiap langkah, dan setiap hal yang masuk ke dalam pikiran dan hatiku adalah pembelajaran. Seseorang akan bisa berhenti belajar hanya saat dia menemui akhir hayatnya. 

Semuanya adalah guru, bergantung anggapan penerimanya bagaimana. Bergantung padaku, guru yang seperti apa yang kuinginkan? Guru yang seperti apa yang kuteladani? Kini hingga nanti, semoga aku bisa selalu bertemu dengan guruguru kehidupan selanjutnya. 

Penulis :  Triah Bulkiah 
Judul Paten : Mencari Guru
Buku : Rangkaian Titik Kehidupan

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel