Tawarruq munadzam tidak dibolehkan kecuali untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Bagaimana hukum dan fungsinya?

Tawarruq munadzam tidak dibolehkan kecuali untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Bagaimana hukum dan fungsinya? - Lembaga lembaga fatwa dan standar syariah seperti AAOIFI, Lembaga fikih Islam Rabithah Alam Islam dan Dewan Syariah nasional di indonesia, para ulama diantaranya, al-Qardhawi, Nazih hammad, Qurrah dagi, Abdullah mani’, Taqi utsmani, Nidzam Ya’qubi, dan lembaga fikih islam Rabithah alam islami telah sepakat bahwa Tawarruq tidak dibolehkan kecuali untuk memenuhi kebutuhan mendesak karena Tawarruq termasuk rekayasa untuk melakukan praktik ribawi (hilah ribawiyah) untuk melakukan riba yang terlarang atau praktik simpan pinjam berbunga dengan modus jual beli.

Tawarruq munadzam tidak dibolehkan kecuali untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Bagaimana hukum dan fungsinya? 

Tawarruq munadzam

Standar Syariah AAOIFI menjelaskan Hukum dan fungsi Tawarruq Munadzam sebagai berikut :

1. Tawarruq bukan merupakan produk investasi atau pembiayaan (bukan produk mobilisasi dan atau penyediaan likuiditas)

2. Tawarruq Hanya boleh digunakan untuk menutupi kekurangan likuiditas dan meminimalisir risiko likuiditas lembaga lembaga keuangan syariah (bukan untuk individu). Dengan syarat syarat berikut : 

a. Pembeli (pertama) tidak menjual barang tersebut (dengan harga lebih kecil dari harga belinya) kepada penjual pertama, baik secara langsung ataupun melalui perantara.

b. Tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain untuk menjual barang tersebut (harus menjual langsung)

c. Terpenuhinya syarat dan rukun jual beli tidak tunai baik secara jual beli negosiasi maupun murabahah, dan mengikuti fatwa DSN tentang murabahah. Memastikan keberadaan komoditas dan telah dimiliki oleh penjual (pertama) sebelum menjualnya kembali. Dalam hal ini terdapat wa’d (janji) yang mengikat harus dibatasi hanya oleh salah satu pihak yang memberikan janji saja. Demikian halnya komoditas yang menjadi objek transaksi bukan berupa emas, perak, atau mata uang sejenisnya.

d. Harus menunjukkan secara definitif komoditas (objek transaksi), dengan penyimpanannya, ataupun nomor resi gedung, dengan mengacu pada standar no.20 mengenai jual beli bursa.

e. Jika komoditas belum ada saat transaksi, maka harus disebutkan secara terperinci dalam kontrak mengenai kriteria komoditas, kuantitas, harga dan lokasi keberadaannya agar transaksi jual belinya terjadi secara sesungguhnya bukan hanya formalitas. Selain itu, diutamakan komoditas lokal sebagai objek transaksi.

f. Qabd (delivery and acceptance) harus dilakukan secara benar, baik secara fisik maupun secara legal.

g. Penjualan kembali komoditas itu wajib dilakukan kepada selain penjual pertama (pihak ketiga) secara tangguh, dan tidak boleh kembali kepada penjual pertama baik dipersyaratkan, diseapakati atau ‘urf.

h. Tidak mengaitkan akad pembelian komoditas secara tangguh dengan akad penjualannya secara tunai.

i. Nasabah tidak boleh mewakilkan kepada bank syariah atau wakil bank dalam menjualkan kembali komoditas. Kecuali jika peraturan perundang-undangan melarang nasabah menjual komoditas sendiri, maka boleh mewakilkan kepada LKS dengan syarat nasabah telah melakukan qabdh terhadap komoditas tersebut baik fisik atau legal.

j. LKS tidak mewakilkan kepada pihak lain atas nama nasabah untuk menjualkan komoditas yang dibelinya dari LKS tersebut.

k. Nasabah/Customer tidak boleh menjual komoditasnya kecuali nasabah sendiri atau melalui agen selain LKS, tempat nasabah membeli komoditas tersebut.

Ketentuan hukum dan fungsi Tawarruq Munadzam di atas juga dipandang lebih tepat dari aspek fikih Muwazanah.

Di satu sisi, pelarangan Tawarruq Munadzam ini karena ingin memastikan setiap produk syariah berdampak pada pertumbuhan sektor riil, barang bertambah dengan bertambahnya jumlah transaksi. Uang bertambah, sedangkan barang tidak bertambah, maka akan menyebabkan inflasi.

Di sisi lain, memberi ruang praktik Tawarruq Munadzam hanya untuk interbank liquidity managemenet, dalam kondisi darurat, untuk menutupi kekurangan likuiditas dan meminimalisir risiko likuiditas lembaga-lembaga keuangan syariah. 

Ditulis Oleh: Hana lidini Hanifah (Mahasiswi STEI SEBI)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel